Konvensi Stockholm merupakan kesepakatan lingkungan
global yang dikembangkan oleh UNEP (The United Nations Environmental
Programme) dan mulai ditandatangani tanggal 23 Mei 2001. Tujuan
Konvensi[1] ini adalah melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari dampak buruk POPs (persistent organic pollutants).
Indonesia telah
menandatangani Konvensi Stockholm, dan saat ini sedang dalam proses
ratifikasi
yang salah satu persyaratannya adalah penyusunan dokumen Rencana Penerapan Nasional (NIP, National Implementation Plan)
yang disahkan
oleh pemerintah. NIP diserahkan kepada Sidang Para Pihak (COP, Conference of Parties) dalam waktu dua tahun
setelah Indonesia mengikatkan
diri pada Konvensi.
Republik Indonesia berkomitmen menyusun dokumen NIP ini sebagai kerangka kerja program
dalam menyusun dan memformulasikan kebijakan, peraturan, kegiatan pembangunan kapasitas untuk kelembagaan maupun s
umber daya manusia, program investasi, strategi, dan program yang memuat tindakan bagi pemenuhan kewajiban Konvensi dalam rangka mengurangi atau mengh
entikan pelepasan POPs di Indonesia. NIP disusun berdasarkan kesepakatan rencana tindak prioritas oleh stakeholder
(terdiri atas berbagai sektor, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat) pada bulan Maret 2005, dilanjutkan dengan serangkaian konsul
tasi dengan stakeholder sampai bulan November 2006.
Pemerintah Indonesia berketetapan melaksanakan NIP setelah Konvensi diratifikasi dengan target penghapusan POPs dan melibatkan semua stakeholder. Yang melatarbelakangi komitmen ini ialah (1) PCB (polychoro-byphenyls) dan HCB (hexachlorobenzene) masih digunakan di industri, dan residu POPs terdeteksi di lingkungan, (2) dampak akibat POPs belum dipahami oleh masyarakat luas, (3) kapasitas dan kemampuan infrastruktur dalam mengelola POPs masih terbatas.
Konvensi Stockholm tentang POPs mewajibkan setiap negara anggota Konvensi untuk
1 Mengupayakan tindakan untuk mengurangi atau menghentikan pelepasan dari produksi dan penggunaan secara sengaja POPs sebagai bahan (aldrin, klordan, DDT, dieldrin, endrin, heptaklor, mireks, toksafen, heksaklorobenzena, dan PCB);
2 Mengembangkan dan melaksanakan rencana tindak untuk mengidentifikasi sumber dan mengurangi pelepasan POPs tak sengaja (PCDD/polychlorinated dibenzo-p-dioxins, PCDF/polychlorinated dibenzofurans, PCB, dan HCB, selanjutnya diistilahkan sebagai UPOPs/unintentional POPs);
3 Mengupayakan tindakan untuk mengurangi atau menghentikan pelepasan UPOPs;
4 Mengurangi/menghentikan pelepasan POPs dari timbunan bahan dan limbah;
5 Mempertukarkan informasi, menumbuhkan kesadaran, dan meningkatkan pendidikan masyarakat;
6 Mengembangkan strategi untuk mengidentifikasi, sedapat-dapatnya, timbunan dari semua jenis POPs dan produk yang mengandung POPs;
7 Melaksanakan penelitian, pengembangan, dan pemantauan; dan
8 Mengembangkan rencana untuk melaksanakan kewajibannya kepada Konvensi dan dalam waktu dua tahun setelah berstatus Para Pihak.
UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur kewenangan pengelolaan lingkungan hidup di tingkat nasional dan daerah. Pengelolaan lingkungan hidup antara lain terdiri atas pengaturan dan pengembangan kebijakan, pemanfaatan sumber daya alam, dan pengendalian kegiatan yang mempunyai dampak sosial, termasuk pengelolaan dan pengendalian bahan berbahaya dan beracun (B3) dan limbah B3. Sebagai implementasi dari UU ini telah diterbitkan PP No. 74/2001 tentang Pengelolaan B3. Peraturan ini mengatur pelarangan penggunaan 10 bahan kimia POPs di Indonesia. Selain itu telah ditetapkan Kep-03/Bapedal/09/1995 tentang persyaratan teknis pengolahan limbah B3 yang mengatur baku mutu untuk efisiensi penghancuran dan penghilangan senyawa POPs untuk insinerator. Parameter yang diatur adalah POHC (principle organic hazard constituents), PCB, PCDD, dan PCDF.
Inventarisasi yang dilaksanakan pada tahun 2003 mengungkapkan bahwa tidak ada impor dan ekspor serta simpanan pestisida POPs. Lahan terkontaminasi berat oleh DDT, HCB, dan pestisida POPs telah teridentifikasi. Inventarisasi awal PCB menunjukkan bahwa sekitar 6% peralatan mengandung PCB dan 17% terkontaminasi dengan kadar yang sangat tinggi. Dari survei awal ini diperkirakan 23 ribu ton minyak trafo terkontaminasi PCB. Emisi PCDD/F berdasarkan the Standardized Toolkit pada tahun 2000 mencapai sekitar 7.352 kg TEQ (Toxicity Equivalent). Empat kategori dengan emisi tertinggi (dinyatakan dalam g TEQ dan %) adalah (a) produksi dan penggunaan bahan kimia dan barang konsumsi (60.4%); (b) pembakaran takterkendali (22.3%); (c) industri besi dan non-besi (12.8%); dan (d) (pembangkit tenaga (2.1%). Sebagian besar emisi (48.2%) dilepaskan ke produk, 24.1% ke udara, dan 20.7% ke residu.
Pemantauan secara terpadu terhadap pelepasan POPs dan pengaruhnya atas kesehatan manusia dan lingkungan belum dilakukan secara berkelanjutan oleh suatu lembaga yang ditunjuk. Status bahan kimia POPs menyatakan data yang ada tersebar dan tidak lengkap.
Sejumlah laboratorium tersebar di berbagai daerah, berada di berbagai institusi. Di lingkungan Departemen Pertanian telah ada 6 laboratorium yang terakreditasi untuk parameter tertentu dalam uji residu POPs.
Dengan menganalisis daur hidup POPs, telah diidentifikasi kesenjangan (gap) untuk memenuhi kewajiban Konvensi. Hal-hal yang harus diupayakan:
1 Mengevaluasi peraturan dan kebijakan yang ada mengenai POPs dan menentukan instrumen yang diperlukan agar pelaksanaan peraturan dan kebijakan itu akan lebih efektif;
2 Mengharmonisasikan PP No. 74/2001 sehubungan dengan pengelolaan POPs, yang dapat dituangkan dalam bentuk Keputusan Menteri dari departemen terkait. PP yang berkaitan dengan pencemaran tanah, laut, dan udara serta keputusan setingkat menteri pada sektor pertanian, kesehatan, dan perindustrian perlu dipertegas agar dapat memenuhi kewajiban Konvensi. Konsekuensinya, peraturan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota juga perlu ditinjau kembali;
3 Mengorganisasikan terbentuknya instrumen hukum yang diperlukan untuk memenuhi kewajiban Konvensi, antara lain mengenai baku mutu;
4 Melengkapi inventarisasi senyawa POPs (impor/ekspor, peredaran, penggunaan, timbunan, pemusnahan);
5 Mengorganisasikan penguatan infrastruktur, kapasitas, dan kemampuan dalam (a) menghasilkan data yang sahih dan andal, (b) memadukan pemantauan dan penilaian risiko akibat paparan POPs, serta (c) komunikasi dan pendidikan mengenai bahaya POPs dan risiko terhadap ekosistem dan kesehatan manusia;
6 Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pengurangan dan pemusnahan POPs secara ESM (environmentally sound management);
7 Mengkoordinasikan penelitian & pengembangan mengenai status dan sebaran POPs pada iklim tropis, teknik atau bahan kimia alternatif pengganti POPs, dan alternatif BAT (best available techniques) dan BEP (best environmental practices);
8 Mengkoordinasikan pelaksanaan penerapan nasional kepada semua stakeholder untuk memenuhi kewajiban Konvensi;
9 Mengkoordinasikan peninjauan setiap 5 tahun dan pelaporan ke Sekretariat POPs;
10 Menjabarkan tugas dan kewenangan NFP (national focal point) sehingga jelas mekanisme komunikasi antara NFP dan Sekertariat Konvensi dan antara NFP dan stakeholder lain.
Rencana tindak yang akan dilaksanakan untuk memenuhi Konvensi di Indonesia:
1 Mulai tahun 2008, yaitu setelah Konvensi diratifikasi oleh pemerintah, dilakukan upaya penguatan kelembagaan, diawali dengan membentuk Komisi B3 yang ditugasi memberi saran dan atau pertimbangan kepada Pemerintah sehubungan dengan pengelolaan POPs dan pelaksanaan Konvensi Stockholm. Sekaligus, dilakukan penguatan peraturan, khususnya PP No. 74/2001 tentang Pengelolaan B3, dilanjutkan dengan tinjauan atas peraturan pemerintah lainnya dan keputusan terkait setingkat menteri. Setelah terbentuk lembaga dan aturan yang kuat, pengawasan terhadap pelarangan produksi, ekspor-impor, peredaran, dan penggunaan POPs dapat dilakukan.
2 Mengurangi atau menghentikan pelepasan dari produksi dan penggunaan POPs dengan mengawasi peredaran ilegal, memperluas inventarisasi, dan mencari alternatif bahan pengganti POPs.
3 Mencegah dan mengawasi peredaran ilegal pestisida POPs, menerapkan pengendalian hama atau vektor terpadu (PHT dan PVT) untuk mengurangi kebergantungan masyarakat akan pestisida POPs, serta inventarisasi lahan ter-kontaminasi yang memerlukan remediasi. Berhubung tidak terkait langsung dengan POPs, PHT dan PVT dapat dilaksanakan tidak pada tahun-tahun pertama implementasi NIP.
4 Memperkuat kapasitas dan kemampuan infrastruktur (termasuk laboratorium terakreditasi) serta SDM agar dapat melakukan inventarisasi lebih luas lagi terhadap PCB serta alat dan bahan ber-PCB dengan target penghapusan pada tahun 2020. Bersamaan dengan itu, pada tahun kedua dilakukan pendaftaran dan pelabelan pada trafo dan kapasitor ber-PCB serta pengembangan alternatif teknik ESM untuk destruksi PCB.
5 Mengawasi peredaran dan perdagangan ilegal DDT, melanjutkan inventarisasi eks-gudang DDT, dan melakukan remediasi pada lahan yang tercemar.
6 Tidak mengajukan pengecualian untuk menggunakan DDT sebagai pestisida dalam bidang pertanian dan pemberantasan malaria.
7 Mengurangi dan menghentikan pelepasan UPOPs dengan cara:
· Menyusun peraturan mengenai pencegahan, pengendalian, dan pengurangan UPOPs, termasuk standar baku-mutu PCDD/PCDF.
· Mengukur emisi PCDD/PCDF di kawasan industri dan kawasan padat penduduk sambil menyiapkan laboratorium yang terakreditasi untuk mengukur UPOPs. Dengan demikian, pelepasan UPOPS oleh sektor publik dan swasta dapat dilaporkan setiap tahun.
· Menerapkan BAT dan BEP, didahului dengan membuat pedoman dan mengadakan pelatihan BAT/BEP bagi operator insinerator dan kiln semen, a.l. tentang pemilahan bahan yang dapat menjadi prekursor PCDD/PCDF.
· Membuat program penelitian dan pengajaran untuk menghindari pembakaran terbuka dan perladangan berpindah.
· Membuat pilot project BAT/BEP untuk kategori sumber pada bagian II Lampiran C teks Konvensi: (a) pengolahan limbah domestik di kawasan padat penduduk; (b) insinerator khusus limbah medis; (c) kerja sama dengan pabrik semen untuk menggunakan kiln; dan (d) survei bahan aditif di industri kertas.
Penanganan UPOPs mensyaratkan penguatan laboratorium secara khusus sehingga pelaksanaannya baru efektif setelah tahun ketiga.
8 Mengidentifikasi timbunan bahan dan limbah yang mengandung POPs untuk kemudian dikelola secara ESM, baik penanganan, pembuangan, maupun pengangkutan lintas-batas (terkait dengan Konvensi Basel), misalnya dengan proses remediasi untuk pengelolaan lahan tercemari POPs. Penguatan infrastruktur dan SDM yang berkaitan dengan laboratorium untuk menganalisis POPs diperlukan untuk menunjang proses identifikasi. Kecuali untuk UPOPs, rencana tindak ini dimulai pada tahun kedua. Identifikasi status bahan kimia POPs juga perlu diantisipasi, akumulasi POPs dalam manusia, untuk itu perlu dilakukan penilaian dan pemantauan dampak POPs terhadap kesehatan setelah laboratorium UPOPs tersedia.
9 Survei HCB untuk mengidentifikasi keberadaan timbunan bahan, artikel yang digunakan, dan limbahnya, dilakukan tahun kedua sebab keberadaannya masih belum jelas.
10 Mengelola timbunan POPs dengan cara yang aman, efisien, dan ramah lingkungan dengan menyiapkan panduan, meneliti teknik ESM, mendirikan sarana ESM untuk memusnahkan PCB, peralatan ber-PCB, dan limbah PCB.
11 Identifikasi lahan terkontaminasi (Lampiran A, B, C) dan melakukan pemulihan. misalnya dengan remediasi dengan cara yang ramah lingkungan
12 Memfasilitasi dan melaksanakan pertukaran informasi dan melibatkan stakeholder, dengan membentuk Komisi B3 yang beranggotakan instansi terkait sebagaimana ditetapkan dalam PP No. 74/2001. Komisi ini bertugas (i) mengkoordinasikan berbagai kegiatan menyangkut pengelolaan POPs, termasuk pertukaran informasi di antara stakeholder, (ii) meningkatkan kemampuan program pengendalian dan evaluasi tentang pengurangan dan penghapusan POPs, (iii) menelaah semua peraturan tentang POPs, dan (iv) memberi masukan kepada pemerintah tentang status bahan kimia yang tergolong ke dalam POPs.
13 Meningkatkan kesadaran dan kemampuan masyarakat dengan menginformasi-kan POPs melalui tahapan:
· Menghimpun dan mendiseminasikan informasi mengenai POPs;
· Menetapkan dan membina kelompok sasaran untuk penyampaian informasi serta menyiapkan informasi yang relevan untuk itu;
· Memasukkan penyadaran akan POPs sebagai bahan pendidikan masyarakat dan mengkoordinasikan pelaksanaannya;
· Menyelenggarakan pelatihan untuk stakeholder;
· Menyediakan penghargaan atau insentif bagi perusahaan atau perorangan yang mampu mengurangi atau menghapuskan POPs dalam unit kerjanya;
· Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengatasi POPs.
14 NFP memfasilitasi evaluasi keefektifan pelaksanaan Konvensi dengan menyiapkan laporan kemajuan atas pengurangan dan penghapusan POPs di Indonesia untuk selanjutnya disampaikan kepada Sekretariat Konvensi untuk dibahas pada COP. Evaluasi dilaksanakan oleh COP.
15 KLH sebagai NFP melaporkan kepada Sekretariat Konvensi tentang penyempurnaan peraturan, data statistik jumlah impor bahan POPs, upaya peningkatan SDM, evaluasi kebijakan dan peraturan serta hasil inventarisasi POPs. Pelaporan dilakukan tahun ketiga, dan setiap 5 tahun setelah itu. Informasi di dalam negeri dihimpun setahun sebelum pelaporan.
16 Meningkatkan penelitian, pengembangan, dan pemantauan dengan melibatkan perguruan tinggi dan instansi penelitian lainnya di dalam negeri, dengan tahapan membentuk komisi penelitian dan pengembangan, menyusun kriteria dan mekanisme kompetisi, menerapkan penelitian dan pengembangan, dan diseminasi hasil.
17 Kegiatan penghapusan POPs direncanakan setelah NIP disepakati oleh instansi terkait. Besarnya biaya total untuk implementasi 6 tahun pertama adalah
Rp1 158 679 803 000.
NIP ini, yang merupakan komitmen dari semua stakeholder (KLH, Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan, Departemen Perindustrian, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Perhubungan, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Pertahanan, Departemen Komunikasi dan Informasi, Departemen Kehutanan, Departemen Perdagangan, Departemen Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Badan Standardisasi Nasional, Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi, Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Pusat Sarana Pengendalian Dampak dan Analisis Lingkungan, laboratorium daerah, lembaga penelitian, dan perguruan tinggi), dan instansi terkait akan dimutakhirkan setiap 2 tahun sebagaimana ditetapkan dalam COP agar rencana tindak selaras dengan pelaksanaannya.
[1] Yang dimaksud ialah Konvensi Stockholm, kecuali jika nama konvensi dituliskan secara spesifik.