Tuesday, March 28, 2023

HUBUNGAN SULFUR DENGAN BUDIDAYA IKAN (Penyebab ikan bau)

 HUBUNGAN SULFUR DENGAN BUDIDAYA IKAN 

(Penyebab ikan bau)


Pendahuluan

Kegiatan budidaya ikan sangat terkait erat dengan parameter kualitas air dimana usaha tersebut dilaksanakan. Indikator parameter kualitas air menjadi prasyarat utama kelayakan usaha budidaya perairan.

Kondisi kualitas air suatu perairan dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu ; 

(1). Polusi dari dalam perairan yang dapat menyebabkan polusi perairan sebagai hasil dari terlepasnya nutrien secara berlebihan, 

(2). Polusi dari luar perairan, seperti kegiatan industri dan kegiatan pertanian. Akumulasi dari nutrien yang cukup tinggi dari dalam perairan (tambak) dapat mengakibatkan self pollution yang akhirnya dapat menurunkan produktifitas perairan, ditandai dengan adanya serangan penyakit pada organisme budidaya.

Pemeliharaan kualitas/mutu air sangat dibutuhkan untuk menunjang kelulus hidupan dan pertumbuhan optimal dari biota yang dibudidayakan. Kualitas air yang baik dapat memasuk kebutuhan akan oksigen untuk pertumbuhan dan metabolit yang dihasilkan oleh udang, alga dan bakteria dalam konsenterasi yang rendah.

Beberapa parameter kualitas air yang perlu mendapatkan perhatian antara lain adalah :

Oksigen terlarut (disolved oxigen) (O2),

pH (derajat keasaman dan kebasaan air),

Salinitas (kadar garam),

Karbondioksida (CO2),

Asam belerang (H2S), 

Ammonia (NH3) dan

Nitrit (NO2).

Hidrogen Sulfida (H2S) dalam Perairan Budidaya

Pada makalah ini akan dibahas secara khusus pengaruh asam belerang Hidrogen Sulfida (H2S) terhadap organisme budidaya perairan. Untuk memudahkan penelahaan hidrogen sulfida ini dapat ditelusuri dengan metode sebagai berikut ; 

1), Sumber, 

2), Bentuk

3), Dampak,

4), Pengelolaan, Pencegahan dan pengendalian H2S pada media perairan budidaya.

1. Sumber Hidrogen Sulfida di Perairan Budidaya

Hidrogen sulfida H2S adalah gas H2S yang terdapat dalam air laut yang berasal dari limbah perkotaan, kegiatan pertanian dan industri. Senyawa sulfat berasal dari limbah organik yang mengandung sulfur dan terdegradasi secara anaerob membentuk H2S. Selanjutnya H2S teroksidasi menjadi sulfat yang berasal dari aktivitas fotosintesis bakteri. Senyawa sulfat juga dapat berasal dari limbah industri.

Disamping itu juga berasal dari hasil proses penguraian zat-zat organik oleh mikroorganisme. Toksisitas H2S tergantung pada pH air laut. Semakin rendah pH air laut semakin tinggi toksisitas H2S. Pada kadar 0.05 ppm sudah bersifat fatal bagi organisme-organisme yang sensitif seperti ikan “trout” (ikan forel). Tanah masam (pH rendah) mengandung banyak FeS. Unsur-unsur pokok yang diperlukan dalam pembentukan pyrite (FeS2) adalah sulfat, besi hasil metabolisme bahan organic, bakteri pereduksi belerang, dan kondisi anaerob merupakan ciri kebanyakan daerah mangrove. Kondisi sangat memungkinkan terbentuknya hydrogen sulfida dalam perairan budidaya terutama tambak. Saat pyrite terdedah pada oksigen, belerang tereduksi di oksidasi menjadi asam sulfat. Akibat buruk terhadap udang dapat diakibatkan oleh kemasaman mineral tersebut.

Pada lokasi perairan pantai disekitar lahan pertambakan intensif yang padat, kecepatan proses penimbunan limbah organik yang harus diuraikan secara alami jauh lebih tinggi dari kemampuan perairan (jasad renik) untuk menguraikan limbah tersebut. Jika keadaan ini terus berlangsung, penimbunan limbah organik semakin menumpuk dan mengubah lingkungan aerob menjadi anaerob. Pertumbuham bakteri anaerob meningkat yang menghasilkan senyawa beracun seperti NH3 (ammonia), Hidrogen Sulfida (H2S) dan CH4 yang membahayakan perkembangan biota budidaya terutama udang dalam tambak.

Pakan sisa yang tidak terkonsumsi oleh organisme budidaya juga merupakan sumber Hidrogen Sulfida (H2S) dalam lahan budidaya disebabkan oleh suasana anaerobik yang memungkinkan oksidasi Hidrogen Sulfida (H2S).

Pada ekosistem perairan alami, siklus produksi dimulai oleh produser. Produser adalah organisme autotrop yang mampu mensintesa bahan organik yang berasal dari bahan anorganik melalui proses fotosintesis (beberapa jenis bakteri melakukan khemosintesis) dengan bantuan cahaya matahari. Produser utama pada ekosistem perairan adalah fitoplankton. Pada perairan alami sumber bahan anorganik berasal dari proses dekomposisi yang merubah bahan organik (termasuk sisa pakan) menjadi bahan anorganik.

Sebagai suatu ekosistem, perairan memiliki komponen-komponen sebagai mana ekosistem lain yaitu komponen biotik dan abiotik. Pada ekosistem perairan komponen biotik yang berperan adalah tumbuhan hijau sebagai produser, bermacam-macam kelompok hewan sebagai konsumer, dan bakteri serta fungi sebagai dekomposer (Collier, et al. 1973). Pada prinsipnya ada tiga proses dasar yang menyusun komponen biotik pada suatu ekosistem tersebut yaitu (a) proses produksi, (b) proses konsumsi, dan (c) proses dekomposisi. Proses-proses tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Komponen abiotik meliputi unsur dan senyawa anorganik, bahan organik dan parameter lingkungan berupa temperatur, oksigen, nutrien dan faktor fisik lain yang membatasi kondisi kehidupan. Keterkaitan antar komponen-komponen tersebut sangat erat, ekosistem akan selalu terjaga bila komponen baik biotik maupun abiotik tetap berada pada kondisi stabil-dinamis.

Proses dekomposisi menempati kedudukan yang sama dengan komponen lain dalam membentuk ekosistem. Agen utama dalam proses dekomposisi ini biasa kita sebut sebagai dekomposer yang umumnya adalah bakteri dan fungi. Proses ini sangat besar peranannya dalam siklus energi dan rantai makanan pada ekosistem. Terhambatnya proses ini akan berakibat pada terakumulasinya bahan organik yang tidak dapat dimanfaatkan langsung oleh produsen. Demikian pula ketersediaan nutrien, sebagai produk dekomposisi akan terhambat pasokannya sejalan dengan penghambatan proses dekomposisi. Bila kondisi ini berlangsung dalam waktu lama maka akan terjadi pula proses pembentukan bahan toksik yang dapat membahayakan kehidupan organisme perairan. Sebagai hasil dari proses dekomposisi yang berlangsung di perairan dimana kegiatan budidaya berlangsung.(Sunarto, 2003)

Faktor-faktor lingkungan juga sangat berpengaruh pada proses ini. Kondisi lingkungan yang optimal bagi terjadinya proses dekomposisi akan mempercepat terjadinya proses ini. Tersedianya nutrien dan keberadaan oksigen di perairan menjadi faktor utama yang menentukan keberadaan bakteri sebagai pelaku proses dekomposisi ini, meskipun hal ini sangat bergantung pada jenis dekomposernya. Jenis dekomposer khususnya bakteri yang aerob berbeda dengan jenis yang anaerob dalam memanfaatkan oksigen dalam mendukung laju dekomposisi.

Proses dekomposisi bahan organik di perairan sangat dipengaruhi faktor-faktor lingkungan yang secara langsung mempengaruhi keberadaan bakteri sebagai agen utama dekomposisi di perairan. Faktor-faktor tersebut adalah oksigen, baik dalam bentuk bebas maupun terikat sebagai senyawa-senyawa kimia, bahan organik baik berupa bahan organik dalam bentuk partikel (Particulate Organic Matter) maupun bahan organik terlarut (Disolved Organic Matter), dan bakteri itu sendiri baik jumlah, jenisnya maupun kemampuannya dalam mentoleransi perubahan lingkungan.(Sunarto, 2003).

2. Bentuk Hidrogen Sulfida di Perairan

Di perairan, sulfur berikatan dengan ion hydrogen dan oksigen. Beberapa bentuk sulfur di perairan adalah sulfida (S2-), hydrogen sulfida (H2S), ferro sulfida (FeS), sulfur oksida (SO2), sulfit (SO3) dan sulfat (SO4).

Hidrogen sulfida, H2S, adalah sulphur dalam bentuk gas yang tidak berwarna, beracun, mudah terbakar dan berbau seperti telur busuk. Gas ini dapat timbul dari aktifitas biologis ketika bakteri mengurai bahan organik dalam keadaan tanpa oksigen (aktifitas anaerobik), seperti di rawa, dan saluran pembuangan kotoran. Gas ini juga muncul pada gas yang timbul dari aktivitas gunung berapi dan gas alam.

Hidrogen sulfida juga dikenal dengan nama sulfana, sulfur hidrida, gas asam (sour gas), sulfurated hydrogen, asam hidrosulfurik, dan gas limbah (sewer gas). IUPAC menerima penamaan "hidrogen sulfida" dan "sulfana"; kata terakhir digunakan lebih eksklusif ketika menamakan campuran yang lebih kompleks.

Hidrogen sulfida merupakan hidrida kovalen yang secara kimiawi terkait dengan air (H2O) karena oksigen dan sulfur berada dalam golongan yang sama di tabel periodik.

Hidrogen sulfida merupakan asam lemah, terpisah dalam larutan aqueous (mengandung air) menjadi kation hidrogen H+ dan anion hidrosulfid HS :

H2S → HS + H+

Ka = 1.3×10−7 mol/L; pKa = 6.89.

Ion sulfid, S2−, dikenal dalam bentuk padatan tetapi tidak di dalam larutan aqueous (oksida). Konstanta disosiasi kedua dari hidrogen sulfida sering dinyatakan sekitar 10−13, tetapi sekarang disadari bahwa angka ini merupakan error yang disebabkan oleh oksidasi sulfur dalam larutan alkalin.

Pada kondisi anaerobic dilapisan hipolimnion, bakteri heterotrof (misalnya Desulfovibrio) akan menggunakan sulfat dan sulphur organic teroksidasi sebagai penerima electron dalam metabolisme dan menguraikan sulfida sebagai berikut :

SO42- + 8H+ S2 + H2O (1)

Sulfida dihasilkan dari proses ionisasi Hidrogen sulfida (H2S) dan terjadi reaksi kesetimbangan antara HS dan S2.

H2S = HS- = H(2)

HS- = S2- + H(3)

Nilai pH menentukan perubahan sulfur antara jenis sulfur (H2S, HS- dan S2-). Hidrogen sulfida yang tidak terionisasi adalah racun bagi ikan. Naiknya pH air mengakibatkan persentase hidrogen sulfida berkurang. Perbandingan persentase antara jenis sulfur yang terionisasi dengan yang tidak terionisasi sangat penting untuk diketahui. Selain pH, perbandingan persentase sulfur yang terionsasi dengan yang tidak terionisasi ini juga dipengaruh oleh suhu perairan.(Purwohadijanto dkk, 2008)

Daya racun hidrogen sulfida (asam belerang) bebas tergantung pada keadaan ionisasinya. Hidrgen sulfida yang tidak terionisasi sangat beracun, tetapi dalam bentuk lain tidak beracun. Daya racun paling berbahaya adalah pada keadaan pH rendah dan kondisi anaerob. Jika kandungan oksigen meningkat maka sulfur akan teroksidasi dalam bentuk ion seperti sulfat sehingga menurunkan pembentukan hidrogen sulfida. Persentase hubungan antara hidrogen sulfida H2S terhadap sulfida total pada berbagai pH dan suhu dapat dilihat seperti pada tabel berikut ;

Tabel 1. Persentase hidrogen sulfida H2S terhadap sulfida total pada berbagai pH dan Suhu.

pHSuhu (0C)
26283032
5,099,098,998,998,9
5,596,996,796,596,3
6,090,890,389,789,1
6,575,874,673,472,1
7,049,748,246,645,0
7,523,822,721,620,6
8,09,08,58,07, 6
8,53,02,92,72,5
9,01,00,90,90,8
Sumber : Boyd, 1988 dalam (Effendi dkk, 1996)

Reduksi (pengurangan dan penambahan hidrogen) anion sulfat menjadi hidrogen sulfida pada kondisi anaerob dalam proses dekomposisi bahan organik menimbulkan bau busuk dan meningkatkan korosifitas logam. Proses reduksi dilakukan oleh bakteri heterotrof (Desulfovibrio) banyak terjadi didasar perairan. Hidrogen sulfida yang dihasilkan kemudian dilepaskan ke atmosfer.

SO42- + bahan organik ---- bakteri ---- S2- + H2O + CO2 (4)

S2 + 2H+ ----- anaerob ----- H2S (5)

Bakteri heterotrof juga dapat mereduksi sulfit (SO32-), tiosulfat (S2O32-), hiposulfat (S2O42), dan unsur sulfur menjadi hidrogen sulfida (H2S). Pada kondisi aerob, hidrogen sulfida segera dioksidasi oleh bakteri Thiobacillus menjadi sulfat. Beberapa bateri, misalnya Chlorobacteriaceae dan Thiorhodaceae dapat mengoksidasi hidrogen sulfida menjadi sulfur.

Perubahan hidrogen sulfida menjadi sulfur dapat terjadi dalam proses sintesis karbohidrat. Dalam reaksi tersebut, hidrogen sulfida digunakan sebagai sumber hidrogen donor untuk membentuk kembali unsur sulfur, sebagai hasil samping dari sintesis karbohidrat. Apabila dalam perairan tidak tedapat oksigen dan nitrat maka sulfat berperan sebagai sumber oksigen dalam proses oksidasi yang dilakukan oleh bakteri anaerob. Pada kondisi ini, ion sulfat direduksi kembali menjadi ion sulfit yang membentuk kesetimbangan dengan ion hidrogen untuk membentuk hidrogen sulfida (H2S), ion hidrogen sulfida (HS-), dan ion sulfida (S2-) pada berbagai nilai pH. Pada nilai pH 9, sebagian besar sulfur (99%) berada dalam bentuk ion HS-. Dalam kondisi ini, jumlah H2S sangat sedikit dan permasalahan bau menyengat tidak muncul. Ion sulfida berada pada pH yang sangat tinggi yakni mendekati pH 14. pada pH 8 kesetimbangan bergeser pada pembentukan H2S yang tidak terionisasi. (Effendi dkk, 1996)

3. Dampak Hidrogen Sulfida pada Organisme Budidaya

Daya racun asam belerang (Hidrogen Sulfida/H2S) bebas tergantung pada keadaan ionisasinya. Hidrogen Sulfida (H2S) yang tidak terionisasi sangat beracun, tapi pada bentuk lainnya tidak berbahaya. Daya racun Hidrogen Sulfida (H2S) yang tak terionisasi paling tinggi pada pH rendah. Sulfur terdapat dalam bahan organik asam amino yang mengandung belerang dan belerang heterotrop, Hidrogen Sulfida (H2S) terbentuk dan diubah ke bentuk teroksidasi seperti sulfat bila ada oksigen. Hidrogen Sulfida (H2S) yang tak terionisasi tidak terdapat dalam perairan yang banyak mengandung oksigen. Hidrogen Sulfida (H2S) menghalangi oksigen diantara sel. Akibat keracunan Hidrogen Sulfida (H2S) sama dengan akibat kekurangan oksigen dan mungkin lebih buruk dari kosentrasi oksigen terlarut yang terlalu rendah. (Tsai, C.K, 1989)

Udang yang dibudidaya dalam tambak pada konsentrasi oksigen terlarut rendah pada pagi hari umumnya mulai makan lagi pada sore hari tetapi pada udang yang terdedah pada konsentrasi sublethal Hidrogen Sulfida (H2S) mungkin tidak akan makan secara normal untuk berminggu-minggu. Hal ini akan mengakibatkan laju pertumbuhan udang menurun karena tidak dapat mengkonsumsi pakan yang diberikan secara baik. Setiap konsentrasi Hidrogen Sulfida (H2S) yang terdeteksi dianggap merugikan produksi budidaya perairan. Untuk udang akan kehilangan keseimbangan pada konsentrasi Hidrogen Sulfida (H2S) 0,1 sampai 0,2 ppm, kematian terjadi pada konsentrasi 1 ppm. (Tsai, C.K, 1989).

Perbandingan belerang terionisasi dan tidak terionisasi sama halnya dengan ammonia, tergantung pH dan temperatur air. Daya racun Hidrogen Sulfida (H2S) meningkat dengan meningkatnya suhu. Hubungan antara pH dengan persentase belerang tak terionisasi menunjukkan bahwa pH 6,5 berakibat buruk pada udang, tidak saja diakibatkan kemasaman tetapi juga mungkin akibat daya racun Hidrogen Sulfida (H2S) yang meningkat. (Tsai, C.K, 1989).

Persentase hidrogen sulfida terhadap sulfida total di perairan sangat tergantung nila pH yang ada dalam perairan tersebut. Pada pH 5, sekitar 99% sulfur terdapat dalam bentuk H2S. Keadaan ini mengakibatkan tekanan parsial H2S dapat menimbulkan permasalahan bau yang cukup serius. H2S bersifat mudah larut, toksik, dan menimbulkan bau seperti telur busuk. Oeh karena itu, toksisitas H2S meningkat dengan penurunan nilai pH perairan.(Effendi dkk, 1996)

Pembentukan ammonia dan Hidrogen Sulfida (H2S) didasar tambak merupakan sebagian masalah utama yang menurunkan laju pertumbuhan dan survival rate (SR) udang ditambak intensif. SR udang menurun sampai 50% pada konsentrasi Hidrogen Sulfida (H2S) didasar tambak sebesar 0,25 ppm.

Pada kurun satu dekade terakhir produktivitas budidaya udang windu ditambak menunjukkan kecenderungan penurunan. Penurunan ini diakibatkan antara lain oleh serangan penyakit terutama virus (White Spot Syndrome Virus/WSSV), buruknya manajemen budidaya dan penurunan kualitas air. Berdasarkan hasil survei pada bulan Oktober 2003 di Jawa Timur, dilaporkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan produksi adalah penurunan kualitas air terutama terbentuknya senyawa H2S di dasar tambak. Adanya senyawa ini menyebabkan pertumbuhan terhambat, penurunan terhadap daya tahan terhadap penyakit dan kematian udang. Kematian benih udang windu yang dibudidayakan tersebut merupakan respon terhadap senyawa toksik H2S. Beberapa penelitian toksisitas senyawa H2S terhadap udang windu yang berasal dari Aceh dan Jawa Timur (Prigi) sudah dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa LC50 96 jam senyawa hidrogen sulfida pada udang windu asal Aceh lebih tinggi dibandingkan pada udang windu asal Jawa Timur (Prigi) (0,0970 mg/L vs 0,0770 mg/L). Pada penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa udang windu asal Aceh lebih tahan terhadap senyawa H2S dibandingkan dengan udang windu asal Jawa Timur.

Jika suplai oksigen berkurang sampai nol karena dihabiskan oleh bakteri aerob dalam proses dekomposisi bahan organik, bakteri aerobik akan mati dan bakteri anaerobik mulai tumbuh. Bakteri anaerobik akan mendekompisisi dan menggunakan oksigen yang disimpan dalam molekul-molekul yang sedang dihancurkan. Hasil dari kegiatan bakteri anaerobik dapat membentuk Hidrogen Sulfida (H2S), gas yang berbau busuk dan berbahaya, serta beberapa produk lainnya. Produk utama dari oksidasi aerobik adalah Karbon Dioksida (CO2) dan air yang dapat dimanfaatkan kembali oleh produsen primer dalam melakukan fotosintesis.

Pada proses reproduksi bakteri terdapat mekanisme keseimbangan antara reproduksi bakteri dengan keberadaan oksigen dan bahan organik atau nutrisinya. Proses reproduksinya dengan membelah diri dari satu sel menjadi dua sel dan seterusnya secara eksponensial, dibatasi oleh kondisi oksigen dan bahan organik, sehingga lajunyapun terhambat atau bahkan terhenti.

4. Pencegahan dan Pengendalian H2S pada Perairan Budidaya

Upaya pencegahan dan pengendalian dampak keracunan hidrogen sulfida dalam perairan budidaya dapat dilakukan dengan cara meningkatkan pH air melalui pengkapuran dan meningkatkan kandungan oksigen perairan melalui pemakaian kincir (aerasi) dan atau pergantian air yang mempunyai kandungan oksigen yang tinggi. Pengkapuran merupakan salah satu cara terbaik untuk mempertahankan pH yang optimal bagi pertumbuhan udang ditambak. Sedangkan pemberian aerasi pada perairan budidaya bertujuan untuk meningkat kosentrasi oksigen terlarut dalam air sehingga perairan kaya dengan oksigen. Hal ini akan menurunkan kandungan hydrogen sulfida (H2S) dalam perairan karena sulphur yang dihasilkan oleh proses dekomposisi bahan organic akan teroksidasi dan terionisasi dalam bentuk lain yang tidak berbahaya bagi organisme budidaya, seperti udang dan ikan.

Hubungan antara hydrogen sulfida dengan budidaya ikan adalah sangat terkait erat, dimana peningkatan kosentrasi kandungan H2S yang tidak terionisasi melewati ambang batas sebesar 1 ppm dapat mengakibatkan kematian organisme budidaya secara massal.

C. Penutup

Dari telaah yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan beberapa hal berkaitan denganhubungan hidrogen sulfida (H2S) pada kegiatan Budidaya Perikanan.

1. Kesimpulan

Sumber hydrogen sulfida H2S dalam perairan budidaya antara lain berasal dari proses dekomposisi bahan organic, sisa pakan yang terakumulasi, limbah perkotaan, kegiatan pertanian dan industri.

Di perairan, sulfur berikatan dengan ion hydrogen dan oksigen. Beberapa bentuk sulfur di perairan adalah sulfida (S2-), hydrogen sulfida (H2S), ferro sulfida (FeS), sulfur oksida (SO2), sulfit (SO3) dan sulfat (SO4).

Daya racun hidrogen sulfida (H2S) bebas tergantung pada keadaan ionisasinya. Hidrgen sulfida yang tidak terionisasi sangat beracun, tetapi dalam bentuk lain tidak berbahaya. Daya racun paling berbahaya adalah pada keadaan pH rendah dan kondisi anaerob.

Pencegahan dan pengendalian dampak hidrogen sulfida dalam perairan budidaya dengan pengkapuran (menaikkan pH) dan pemberian aerasi yang cukup (meningkatkan oksigen) perairan.

2. Saran

Saran yang dapat penulis sampaikan tentanghubungan hidrogen sulfida (H2S) pada kegiatan Budidaya Perikanan adalah dalam kegiatan budidaya harus dilakukan pengukuran kualitas air secara periodik terutama untuk memantau kandungan H2S yang dapat mengakibatkan kematian massal organisme budidaya. Persiapan lahan terutama pengkapuran juga perlu diperhatikan.

DAFTAR PUSTAKA

Hefni effendi, 1996, Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya Di Lingkungan Perairan, Kanisius, Jakarta.

Sri andayani, Ir, 2005, Manajemen Kualitas Air untuk Budidaya Peraian, Faperik Unibraw, Malang

Purwohadijanto, Prapti Sunari, Sri Andayani, 2008, Pemupukan dan Kesuburan Perairan Budidaya, Faperik UB Malang.

Chia Kuang Tsai, 1989, Shrimp Pond Water Quality Management, BPPP, Puslitbang Perikanan, Jakarta

Arif Prayitno, Dr. Ir, MS, 2008, Dasar-Dasar Budidaya, Faperik UB Malang.

Bardach, J.E. ; J.H. Ryther and W.O. Mc Lrney 1972 - Aquaculture. The farming and Khusbandry of freshwater and marine organisms. John Wiley & Sons. Inc; New York : 868 pp.

Direktorat Jendral Perikanan 1982 - Petunjuk Teknis Budidaya Laut DIT- JEN PERIKANAN, Jakarta : 24 hal.

Environmental Protection Agensy 1973 - Water Quality Criteria ; a report of the Committee on Water Quality Criteria. EPA, Washington D.C.

Sunarto, 2003, Peranan Dekomposisi dalam Proses Produksi pada Ekosistem Laut, Institut Pertanian Bogor, E-mail: sunartounpad@yahoo.com

Saunder, G.W., 1980. Organic matter and Decomposers. In The Functioning of Freshwater Ecosystem Eds. by E.D. Le Cren and R.H. Lowe-Mc. Connel. Cambridge University Press. 588 p.

Mose, M.R. 1978. Source Of Sulfur In The Environment The Global Cycle Sulfur. A Willey Interscience ChichesarBrebans. Toronto

Rianto, T. 2003. Toksisitas Sulfida Terhadap Benih Ikan Kerapu Macan (Ephinephelus fisceguttatus). Skripsi. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau.

Suryasi, R. 2005. Toksisitas Sulfida Terhadap Fisiologi Darah Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio L). Skripsi.Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan. Universitas Riau.

Reese Vaughn And Max Levine, 1936, Hydrogen Sulfide Production As A Differential Test In The Colon Group, Iowa Engineering Experiment Station, Iowa State College, Ames, Iowa, Received for publication February 24, 1936, Downloaded from jb.asm.org by on September 23, 2008

SELAMAT MEMBACA BRO ???!!!!!

No comments:

Tips Foto di Malam Hari dengan Kamera DSLR

 Tips Foto di Malam Hari dengan Kamera DSLR Malam  memang kurang cahaya sehingga terkadang menyulitkan untuk mengambil foto, apapun jenis ...